(Menakar Hak Konstitusional Pengusaha Dalam Pemilihan Kepala Daerah)

 

Beberapa hari yang lalu ada kejadian unik yang menarik perhatian publik. Salah satu tokoh dengan latar belakang pengusaha menyatakan dukungannya kepada ketiga Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kalimantan Tengah. H. Abdul Rasyid, pendiri dan pemilik Citra Borneo Indah (CBI) Group mengajak masyarakat agar mendukung Paslon Nadalsyah – Supian Hadi, Willy M Yoseph – Habib Ismail dan Abdul Razak – Sri Suwanto. ”Untuk Pilkada Kalteng, saya tegaskan, untuk keluarga sudah cukup dua periode saja. Pilkada tahun ini kasih kesempatan yang lainnya lah,” ujar Abdul Rasyid saat diwawancara bertepatan dengan pagelaran Pangkalan Bun 10K, dikutip dari bornenews.co.id pada Minggu (29/08/2024). Kejadian ini menuai beragam komentar dari netizen dan masyarakat Kalimantan Tengah. Ada beberapa pihak yang menuduh atau menaruh curiga dan membangun narasi bahwa paslon yang mendapatkan ‘endorsement’ dari pengusaha akan menjadi boneka pengusaha.

Bagaimana sebenarnya bentuk dukungan pengusaha terhadap pasangan calon peserta pilkada? Dan apa dampak hukum dukungan pengusaha terhadap pasangan calon peserta pilkada?

 

Klasifikasi Dukungan Pilkada

Setidaknya ada 3 macam dukungan terhadap pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur peserta Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan tahapan pilkada:

a. Dukungan Suara untuk pasangan calon peserta pilkada – tahap pencalonan/pendaftaran;

b. Dukungan dana kampanye untuk pasangan calon peserta pilkada – tahap kampanye;

c. Dukungan suara untuk pasangan calon peserta pilkada – tahap pemungutan suara.

 

Bolehkah Pengusaha Mendukung Paslon?

Pengusaha boleh dan berhak memberikan dukungan kepada pasangan calon peserta pilkada. Termasuk menyatakan dukungan kepada salah satu pasangan calon peserta pilkada. Pengusaha juga diperbolehkan mengajak masyarakat untuk mendukung salah satu atau beberapa paslon. Himbauan untuk mendukung beberapa paslon bukan berarti pengusaha menganjurkan masyarakat untuk ‘golput’ melainkan pengusaha mengajak masyarakat untuk menggunakan hak konstitusionalnya sesuai hati nurani masing-masing.

Konstitusi Negara Republik Indonesia menjamin hak politik setiap warga negaranya. Jaminan itu dituangkan secara gamblang dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat“

Hak politik tersebut melekat kepada setiap warga negara tanpa melihat kualitas diri dari person atau subjek hukum itu sendiri. Entah itu petani, buruh maupun pengusaha.

Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang pada intinya mengatur tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menentukan bahwa dana kampanye pasangan calon yang diusulkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat diperoleh dari: a) sumbangan Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon; b) sumbangan pasangan calon; dan/atau, c) sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan persorangan dan/atau badan hukum swasta.

Rumusan tersebut mengandung makna bahwa pengusaha baik perseorangan maupun badan hukum swasta diperbolehkan memberi dukungan dana kampanye dalam bentuk sumbangan yang disalurkan melalui Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK). Artinya, jika dukungan pengusaha berupa sumbangan untuk dana kampanye adalah sah di mata hukum, apalagi jika sekedar dukungan moril dalam bentuk pernyataan sikap di media massa.

 

Dukungan Mengikat

Pengusaha tidak dapat “menyetir” kepala daerah terpilih. Seperti halnya dukungan dan suara yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk “menyetir” kepala daerah terpilih sesuka hati. Pilihan masyarakat bisa saja dipengaruhi oleh janji-janji yang termuat dalam visi-misi paslon peserta pilkada yang disampaikan pada saat kampanye. Janji-janji itulah yang sering disebut sebagai kontrak politik. Meskipun pelanggaran terhadap kontrak politik belum tentu beresiko tindak pidana karena beban pelaksanaan kontrak politik adalah beban ikatan moril. Sanksi atas pelanggaran kontrak politik adalah sanksi sosial. Hal semacam ini berlaku pula pada dukungan pengusaha terhadap paslon peserta pilkada.

 

Jika paslon yang didukung oleh pengusaha menang maka tidak ada mekanisme hukum yang dapat menjamin pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih tersebut memenuhi janji politiknya kepada pengusaha tersebut. Sehingga tidak mungkin ada pemain tunggal dan komunikasi searah dalam sebuah kontrak politik karena masing-masing pihak hanya akan memenuhi kontrak politiknya atas kehendak bebas secara sukarela. Seperti halnya tidak ada yang bisa memaksa pengusaha untuk memberi dukungan kepada salah satu paslon, begitu pun tidak ada yang bisa memaksa kepala daerah terpilih untuk mengistimewakan salah satu atau beberapa pengusaha pendukungnya. Hal ini terjadi karena kontrak politik adalah hubungan konsensual yang dibangun diatas pondasi moril.

 

Dana Kampanye

Peraturan perundang-undangan kita memperbolehkan paslon mendapatkan dukungan dana dari partai pendukung maupun dari pihak-pihak lain yang tidak mengikat. Seandainya ada paslon yang mendapatkan dukungan dana dari pengusaha maka hal itu sepenuhnya sah secara hukum. Aturan ini tentu saja telah mempertimbangkan bahwa biaya untuk melakukan kampanye cukup tinggi, misalnya untuk mobilitas, akomodasi dan konsumsi paslon beserta tim maupun masyarakat yang menghadiri acara-acara kampanye. Oleh karena itu justru akan sangat mencurigakan jika ada paslon yang selama masa kampanye tidak pernah mendapatkan dukungan dana dari pihak manapun namun pada saat yang sama mampu melaksanakan kampanye besar-besaran dan megah.

 

Penulis menyadur berita dari halaman berita KaltengPos yang mengabarkan bahwa keempat paslon telah menyerahkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) dengan nominal beragam, mulai dari 0 rupiah hingga Rp.250.000.000,- (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah). Data ini akan menjadi bekal bagi para pengawas pemilihan kepala daerah untuk menentukan ada atau tidaknya dugaan pelanggaran pemilihan kepala daerah. Menurut penulis, pengawasan terhadap kegiatan kampanye akan lebih ketat dari pada biasanya pasca berkembangnya isu dukungan pengusaha terhadap paslon nomor urut 1, 2 dan 4.

 

Black Campaign

Nomenklatur ‘Black Campaign’ dalam Pasal 69 huruf c Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah menjelaskan kriteria kampanye hitam, seperti tindakan menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat. Berdasarkan nomenklatur tersebut, jika ada tudingan bahwa peserta pilkada yang mendapatkan dukungan dari pengusaha adalah boneka pengusaha maka penulis berpendapat tindakan tersebut memenuhi unsur memfitnah, menghasut atau mengadu domba perseorangan (calon gubernur atau calon wakil gubernur) dengan masyarakat.

Peserta pilkada, tim pemenangan maupun relawan sangat disarankan agar tidak melakukan kampanye hitam. Tudingan bahwa salah satu paslon adalah boneka pengusaha harus berani dibuktikan. Tuduhan itu menyiratkan bahwa paslon yang sedang atau pernah didukung oleh pengusaha terlibat praktek kolusi maupun nepotisme. Sehingga tudingan tersebut jelas termasuk dalam kualifikasi kampanye hitam.

Sebaliknya, ketika ada masyarakat maupun pengusaha yang menyampaikan evaluasi maupun kritik terhadap pemerintah atau penguasa maka pada dasarnya pihak tersebut hanya menyampaikan opini yang dilindungi oleh undang-undang sebagai hak untuk berekspresi. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menghimbau kepada seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang agar menghindari praktek-praktek kampanye hitam yang justru dapat merugikan diri sendiri serta melukai proses demokrasi yang sedang berlangsung di bumi Tambun Bungai yang kita cintai.

 

Penulis : Kariswan Pratama Jaya, S.H., S.Sy

Praktisi Hukum – Anggota Biro Hukum dan Advokasi Masyarakat pada Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kalimantan Tengah – Alumni HMI AI Universitas Muhammadiyah Malang